Gambut
merupakan ordo Histosol, yaitu tanah yang didominasi bahan organik dengan
ketebalan lebih dari 40 cm (Soil Survey
Staff 1999 dan 2010). Istilah gambut berasal dari bahasa Banjar dan nama desa
di selatan kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan, untuk menunjukkan kawasan yang
didominansi oleh rawa yang terbentuk dari bahan organik tumbuhan. Di Kalimantan
Barat, orang Melayu menyebutnya sepok untuk
menunjukkan semacam konotasi negatif tentang gambut. Sepok berarti tua, atau
ketinggalan zaman, berarti tanah gambut bermakna tanah yang tidak subur. Indonesia memiliki
gambut tropis terluas di dunia, dengan prakiraan luas 21 juta hektar (Agus & Subiksa 2008).
Sebagian besar lahan dan hutan gambut tersebut terdapat di Pulau Kalimantan,
Sumatera dan Papua.
Sifat-sifat fisik
gambut yang penting adalah tanah gambut tersusun atas bahan organik lebih dari
65% dan memiliki kemampuan yang tinggi dalam menyimpan air (Andriesse 1988).
Bobot isi gambut nilainya sangat rendah apabila dibandingkan dengan bobot isi
tanah mineral. Kisaran bobot isi gambut antara 0.04–0.3 g/cm3
(Anshari et al. 2009). Jika mengalami
kekeringan kadar air <100%, gambut kehilangan kemampuan menyerap air (irreversible drying) dan menjadi bahan
organik kering yang tidak cocok untuk digunakan sebagai media bercocok tanam dan
kehilangan fungsinya sebagai tanah (Agus &Subiksa 2008).
Gambut umumnya bereaksi
masam dengan nilai pH antara 3 sampai 4.5. Jika pH tanah sudah mencapai 5,
lahan gambut cukup baik untuk pertanian (Agus & Subiksa 2008). Kejenuhan
basah sangat rendah (< 10%) dan memiliki Kapasitas Tukar Kation (KTK) yang
tinggi atau sangat kuat mengikat kation dalam koloid tanah. Gambut tropis
berasal dari proses pelapukan bahan organik tumbuhan berkayu yang memiliki
kandungan karbon yang tinggi antara 50-60% (Anshari 2008 & Page et al, 2004). Karbon dalam gambut
sebagian besar terdiri atas karbon organik. Umumnya gambut termasuk lahan
marjinal untuk pertanian karena kekurangan unsur-unsur makro dan mikro.
Daftar
Pustaka
Andriesse, J.P. 1988. Nature and Management of Tropical Peat Soils.
Food and Agriculture Organization of The United Nation, Rome.
Anshari, G. 2008. Carbon contents in freshwater peatland forest of Danau Sentarum
National Park. A paper presented at International Symposium on Tropical
Peatland held at Hilton Kuching, Sarawak from 19 – 21 August 2008. The
symposium was organized by University Malaysia Sarawak (Unimas) and Malaysian
Agricultural Research & Development Institute (MARDI) in collaboration with
CARBOPEAT and in partnership with International Peat Society (IPS).
Anshari, G.,
Lubis, M., Afifudin. 2009. Informasi
kedalaman gambut, degradasi lahan, dan rosot karbon untuk Pengelolaan Gambut
Lestari. Laporan Penelitian. DP2M Dikti. Jakarta.
Agus & Subiksa, 2008. Konsorsium penelitian dan pengembangan
perubahan iklim pada sektor pertanian. Balai Pesar Penelitian dan Pengembangan
Sumberdaya Lahan Pertanian. Bogor.
Page, S.E., Weiss. D., Rieley, J.O.,
Shotyk, W., Limin, S.H. 2004. A record of
Late Pleistocene and Holocene Carbon accumulation and climate change from an
equatorial peat bog (Kalimantan, Indonesia): Implications for past, present and
future carbon dynamics. J. Quaternary Sci. 19(7): 625-636.
Soil Survey Staff, 1999. Kunci Taksonomi Tanah, Edisi Kedua
Bahasa Indonesia, Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian.
Soil Survey
Staff, 2010, Key to Soil Taxonomy,
United States Departement of Agriculture (USDA), National Resources
Conservation Services.
0 komentar:
Posting Komentar