Kebakaran hutan dan lahan tentu
dimulai dengan adanya api yang disulutkan. Dalam teori segitiga api, api tidak
akan berjalan sendiri (menyala) tanpa adanya bahan yang dibakar dan oksigen
(O2). Bahan bakar dalam kebakaran hutan dan lahan kali ini tentu adalah hutan
dan lahan gambut yang telah rusak. Kerusakan
lahan gambut dapat dipicu antara lain oleh kegiatan penebangan liar, pembukaan
lahan pertanian, industri dan pemukiman, serta pembuatan parit/saluran.
Kegiatan-kegiatan tersebut berdampak pada terjadinya pengeringan gambut dan
subsiden yang akan menimbulkan kebakaran di musim kemarau dan banjir di musim
hujan serta berbagai bencana ekologis lainnya.
Tipe kebakaran lahan gambut
adalah tipe kebakaran bawah tanah (underground
fire), dan tidak menyebabkan nyala yang besar, atau hanya menyebabkan
pembaraan (smoldering). Pembaraan
dapat diartikan sebagai hasil oksidasi bahan bakar padat tanpa penyalaan.
Dengan demikian reaksi oksidasi dan panas dilepaskan dari permukaan bahan bakar
padat. Sebaliknya, hasil reaksi oksidasi pada penyalaan terjadi pada fase gas.
Pada pembaraan, suhu, dan kecepatan dan jumlah panas yang dilepaskan relatif
lebih rendah daripada penyalaan. Umumnya, temperatur puncak pembaraan berkisar
antara 500 – 700 °C, dengan kecepatan pelepasan panas 1-50 mm/jam. Sedangkan
pada penyalaan, temperatur mencapai 1500
°C, dan dengan kecepatan 1500 mm/jam (Syaufina 2008). Dampak pembaraan adalah
tingginya emisi, terutama senyawa organik, CO, dan polyaromatic hydrocarbon, mungkin terjadi peralihan dari bara
menjadi nyala secara tiba-tiba, dan sulit dipadamkan (Syaufina 2008).
Kebakaran
lahan gambut secara nyata berpengaruh terhadap terdegradasinya kondisi
lingkungan, kesehatan manusia dan aspek sosial ekonomi bagi masyarakat (Hermawan 2006):
a. Menurunnya kondisi lingkungan :
Perubahan kualitas fisik gambut (penurunan porositas total, penurunan kadar
air tersedia, penurunan permeabilitas dan meningkatnya kerapatan lindak); Perubahan
kualitas kimia gambut (peningkatan pH, kandungan N-total, kandungan fosfor dan
kandungan basa total yaitu Kalsium, Magnesium dan
Kalium, tetapi terjadi penurunan kandungan C-organik); perkembangan populasi dan
komposisi vegetasi hutan akan terganggu (benih-benih vegetasi di dalam tanah
gambut terbakar) sehingga akan menurunkan keanekaragaman hayati; rusaknya
siklus hidrologi (menurunkan kemampuan intersepsi air hujan ke dalam tanah,
mengurangi transpirasi vegetasi, menurunkan kelembaban tanah, dan
meningkatkan jumlah air yang mengalir di permukaan (surface run off). Kondisi demikian menyebabkan gambut menjadi
kering dan mudah terbakar, terjadinya perubahan kualitas air serta turunnya
populasi dan keanekaragaman ikan di perairan; gambut menyimpan cadangan karbon,
apabila terjadi kebakaran lahan maka akan menjadi penyumbang emisi carbon yang berdampak
pada pemanasan global.
b. Kesehatan manusia : Ribuan
penduduk dilaporkan menderita penyakit infeksi saluran pernapasan, sakit mata
dan batuk sebagai akibat dari asap kebakaran. Kebakaran gambut juga menyebabkan
rusaknya kualitas air, sehingga air menjadi kurang layak untuk diminum.
c. Aspek sosial ekonomi : Terganggunya kegiatan
transportasi; terganggunya sektor pariwisata; terjadinya
protes dan tuntutan dari negara tetangga akibat dampak asap kebakaran; meningkatnya
pengeluaran akibat biaya untuk pemadaman.
Hingga saat ini, pemerintah
pusat dan daerah berupaya melakukan pengendalian kebakaran. Namun usaha
tersebut belum optimal karena rendahnya kesadaran dan partisipasi masyarakat dalam pengendalian kebakaran tersebut. Fakta dari
beberapa kejadian kebakaran, pengendalian lebih difokuskan pada aspek
pemadaman daripada aspek pencegahan terutama pencegahan dari masyarakat lokal
atau disekitar kawasan kejadian kebakaran (Hermawan 2006).
Pengelolaan kebakaran lahan
gambut meliputi upaya pencegahan dan pengendalian. Kedua upaya itu harus
dilakukan secara sistematis, comprehensive, dan terpadu, dengan
melibatkan semua pihak yang berkepentingan (stakeholder). Tindakan
pencegahan merupakan komponen terpenting dari seluruh sistem penanggulangan
bencana termasuk kebakaran. Bila pencegahan dilaksanakan dengan baik, seluruh
bencana kebakaran dapat diminimalkan atau bahkan dihindarkan. Pencegahan juga
merupakan cara yang ekonomis untuk mengurangi kerusakan dan kerugian yang
ditimbulkan oleh kebakaran tanpa harus menggunakan peralatan yang mahal. Oleh
karena itu strategi pengendalian kebakaran difokuskan pada manajemen kebakaran
berbasis masyarakat. Dimana manajemen kebakaran tersebut diarahkan untuk kegiatan pencegahan daripada
usaha pemadaman kebakaran dengan melibatkan partisipasi masyarakat lokal.
Kebakaran gambut tidak akan terjadi pada hutan gambut yang tidak
terganggu tetapi lebih sering terjadi pada lahan gambut yang telah didrainase dan dikonversi menjadi penggunaan
lain (terganggu). Menurut Anshari et al. 2010 penyiapan lahan
gambut untuk pertanian kecil umumnya dilakukan dengan metode pembakaran.
Kegiatan ini dilakukan oleh petani dengan maksud memperbaiki pH tanah agar
lahan menjadi lebih baik untuk ditanami. Namun, pembakaran gambut menyebabkan
berbagai dampak lingkungan yang merugikan. Polusi kabut asap selalu terjadi
pada pembakaran gambut dan seringkali kali pembakaran gambut menjadi tidak
terkendali sehingga merusak kondisi fisik lahan gambut yaitu pengeringan gambut
dan penurunan permukaan gambut.
Filosofi api tentu berlaku pada bencana yang sedang negeri bertuah, bumi
melayu
Tak kan ada asap
jikalau tak ada api, tak kan ada bencana jika tak dimulai
Tak ada bencana
kecuali itu peringatan untuk kita lebih bijak mengelola Alam ini….
Daftar Pustaka
Anshari. G, Rossy, M. Nuriman. 2010. Pengujian Dampak Penyiapan Lahan Gambut
dengan Metode Pembakaran Terkendali terhadap Perubahan Beberapa Sifat Fisik dan
Kimia dan Besarnya Emisi Karbon. Jurnal Indonesia Managing Higher Education
For Relevance And Efficiency (I-Mhere) Universitas Tanjungpura. Pontianak.
Anshari, M. Afifudin, M. Nuriman, E.
Gusmayanti, L. Arianie, R. Susana, R.W. Nusantara, J.S. Rahajoe, A.
Rafiastanto, 2010, Drainage and Land Use
Impacts on Changes in Selected Peat
Properties and Peat Degradation in West Kalimantan Province, Indonesia. Biogeosciences, 3403–419.
Hermawan, W. 2006. Dampak Kebakaran Kebun dan Lahan terhadap LingkunganHidup. Dinas
Perkebunan Provinsi Kalimantan Barat.
Syaufina, L. 2008. Kebakaran Hutan dan Lahan Di Indonesia. Edisi pertama. Bayumedia
Publishing. Malang.
0 komentar:
Posting Komentar