• This is Slide 1 Title

    This is slide 1 description. Go to Edit HTML and replace these sentences with your own words. This is a Blogger template by Lasantha - PremiumBloggerTemplates.com...

  • This is Slide 2 Title

    This is slide 2 description. Go to Edit HTML and replace these sentences with your own words. This is a Blogger template by Lasantha - PremiumBloggerTemplates.com...

  • This is Slide 3 Title

    This is slide 3 description. Go to Edit HTML and replace these sentences with your own words. This is a Blogger template by Lasantha - PremiumBloggerTemplates.com...

Selasa, 11 Maret 2014

Kebakaran Hutan dan Lahan Riau (Penyebab dan Akibatnya)

Kebakaran hutan dan lahan tentu dimulai dengan adanya api yang disulutkan. Dalam teori segitiga api, api tidak akan berjalan sendiri (menyala) tanpa adanya bahan yang dibakar dan oksigen (O2). Bahan bakar dalam kebakaran hutan dan lahan kali ini tentu adalah hutan dan lahan gambut yang telah rusak.  Kerusakan lahan gambut dapat dipicu antara lain oleh kegiatan penebangan liar, pembukaan lahan pertanian, industri dan pemukiman, serta pembuatan parit/saluran. Kegiatan-kegiatan tersebut berdampak pada terjadinya pengeringan gambut dan subsiden yang akan menimbulkan kebakaran di musim kemarau dan banjir di musim hujan serta berbagai bencana ekologis lainnya.
Tipe kebakaran lahan gambut adalah tipe kebakaran bawah tanah (underground fire), dan tidak menyebabkan nyala yang besar, atau hanya menyebabkan pembaraan (smoldering). Pembaraan dapat diartikan sebagai hasil oksidasi bahan bakar padat tanpa penyalaan. Dengan demikian reaksi oksidasi dan panas dilepaskan dari permukaan bahan bakar padat. Sebaliknya, hasil reaksi oksidasi pada penyalaan terjadi pada fase gas. Pada pembaraan, suhu, dan kecepatan dan jumlah panas yang dilepaskan relatif lebih rendah daripada penyalaan. Umumnya, temperatur puncak pembaraan berkisar antara 500 – 700 °C, dengan kecepatan pelepasan panas 1-50 mm/jam. Sedangkan pada penyalaan, temperatur mencapai  1500 °C, dan dengan kecepatan 1500 mm/jam (Syaufina 2008). Dampak pembaraan adalah tingginya emisi, terutama senyawa organik, CO, dan polyaromatic hydrocarbon, mungkin terjadi peralihan dari bara menjadi nyala secara tiba-tiba, dan sulit dipadamkan (Syaufina 2008).
Kebakaran lahan gambut secara nyata berpengaruh terhadap terdegradasinya kondisi lingkungan, kesehatan manusia dan aspek sosial ekonomi bagi masyarakat (Hermawan 2006):
a.   Menurunnya kondisi lingkungan : Perubahan kualitas fisik gambut (penurunan porositas total, penurunan kadar air tersedia, penurunan permeabilitas dan meningkatnya kerapatan lindak); Perubahan kualitas kimia gambut (peningka­tan pH, kandungan N-total, kandungan fosfor dan kandungan basa total yaitu Kalsium, Mag­nesium dan Kalium, tetapi terjadi penurunan kandungan C-organik); perkembangan populasi dan kompo­sisi vegetasi hutan akan terganggu (benih-benih vegetasi di dalam tanah gambut terbakar) sehingga akan menurunkan keanek­aragaman hayati; rusaknya siklus hidrologi (menurunkan kemam­puan intersepsi air hujan ke dalam tanah, men­gurangi transpirasi vegetasi, menurunkan kelemb­aban tanah, dan meningkatkan jumlah air yang mengalir di permukaan (surface run off). Kondisi demikian menyebabkan gambut menjadi kering dan mudah terbakar, terjadinya perubahan kualitas air serta turunnya populasi dan keanekaragaman ikan di perairan; gambut menyimpan cadangan karbon, apabila terjadi kebakaran lahan maka akan menjadi penyumbang emisi carbon yang berdampak pada pemanasan global.
b.   Kesehatan manusia : Ribuan penduduk dilaporkan menderita penyakit in­feksi saluran pernapasan, sakit mata dan batuk sebagai akibat dari asap kebakaran. Kebakaran gambut juga menyebabkan rusaknya kualitas air, sehingga air men­jadi kurang layak untuk diminum.
c.   Aspek sosial ekonomi Terganggunya kegiatan transportasi; terganggunya sektor pariwisata; terjadinya protes dan tuntutan dari negara tet­angga akibat dampak asap kebakaran; meningkatnya pengeluaran akibat biaya untuk pemadaman.
Hingga saat ini, pemerintah pusat dan daerah berupaya melakukan pengendalian kebakaran. Namun usaha tersebut belum optimal karena rendahnya kesadaran dan partisipasi masyarakat dalam pengendalian kebakaran tersebut. Fakta dari beberapa kejadian kebakaran, pengendalian lebih difokuskan pada aspek pemadaman daripada aspek pencegahan terutama pencegahan dari masyarakat lokal atau disekitar kawasan kejadian kebakaran (Hermawan 2006).
Pengelolaan kebakaran lahan gambut meliputi upaya pencegahan dan pengendalian. Kedua upaya itu harus dilakukan secara sistematis, comprehensive, dan terpadu, dengan melibatkan semua pihak yang berkepentingan (stakeholder). Tindakan pencegahan merupakan komponen terpenting dari seluruh sistem penanggulangan bencana termasuk kebakaran. Bila pencegahan dilaksanakan dengan baik, seluruh bencana kebakaran dapat diminimalkan atau bahkan dihindarkan. Pencegahan juga merupakan cara yang ekonomis untuk mengurangi kerusakan dan kerugian yang ditimbulkan oleh kebakaran tanpa harus menggunakan peralatan yang mahal. Oleh karena itu strategi pengendalian kebakaran difokuskan pada manajemen kebakaran berbasis masyarakat. Dimana manajemen kebakaran tersebut  diarahkan untuk kegiatan pencegahan daripada usaha pemadaman kebakaran dengan melibatkan partisipasi masyarakat lokal.
Kebakaran gambut tidak akan terjadi pada hutan gambut yang tidak terganggu tetapi lebih sering terjadi pada lahan gambut yang telah didrainase dan dikonversi menjadi penggunaan lain (terganggu). Menurut Anshari et al. 2010 penyiapan lahan gambut untuk pertanian kecil umumnya dilakukan dengan metode pembakaran. Kegiatan ini dilakukan oleh petani dengan maksud memperbaiki pH tanah agar lahan menjadi lebih baik untuk ditanami. Namun, pembakaran gambut menyebabkan berbagai dampak lingkungan yang merugikan. Polusi kabut asap selalu terjadi pada pembakaran gambut dan seringkali kali pembakaran gambut menjadi tidak terkendali sehingga merusak kondisi fisik lahan gambut yaitu pengeringan gambut dan penurunan permukaan gambut.
Filosofi api tentu berlaku pada bencana yang sedang negeri bertuah, bumi melayu
Tak kan ada asap jikalau tak ada api, tak kan ada bencana jika tak dimulai
Tak ada bencana kecuali itu peringatan untuk kita lebih bijak mengelola Alam ini….

Daftar Pustaka
Anshari. G, Rossy, M. Nuriman. 2010. Pengujian Dampak Penyiapan Lahan Gambut dengan Metode Pembakaran Terkendali terhadap Perubahan Beberapa Sifat Fisik dan Kimia dan Besarnya Emisi Karbon. Jurnal Indonesia Managing Higher Education For Relevance And Efficiency (I-Mhere) Universitas Tanjungpura. Pontianak.
Anshari, M. Afifudin, M. Nuriman, E. Gusmayanti, L. Arianie, R. Susana, R.W. Nusantara, J.S. Rahajoe, A. Rafiastanto, 2010, Drainage and Land Use Impacts on Changes  in Selected Peat Properties and Peat Degradation in West Kalimantan Province,  Indonesia. Biogeosciences, 3403–419.
Hermawan, W. 2006. Dampak Kebakaran Kebun dan Lahan terhadap LingkunganHidup. Dinas Perkebunan Provinsi Kalimantan Barat.
Syaufina, L. 2008. Kebakaran Hutan dan Lahan Di Indonesia. Edisi pertama. Bayumedia Publishing. Malang.

Manfaat Lahan Gambut

Sebagai salah satu bentuk lahan, gambut tentu memiliki peran penting dalam kehidupan manusia. Gambut sebagai sumberdaya alam berfungsi sebagai pengatur hidrologi, sarana konservasi keanekaragaman hayati, tempat budi daya, dan sumber energi. Selain itu, gambut juga memiliki peran besar sebagai pengendali perubahan iklim global karena kemampuannya dalam menyerap dan menyimpan cadangan karbon dunia.
1.      Pengatur hidrologi
Kadar air gambut dapat berdasarkan tingkat kematangannya dibagi tiga kelas, yaitu saprik, hemik dan fibrik (Notohadiprawiro, 1985). Gambut saprik (< 450 %) adalah gambut yang berada dalam kondisi pelapukan awal, gambut hemik (450-850%) adalah gambut yang mengalami tingkat pelapukan pertengahan, sedangkan Gambut fibrik (> 850%) adalah gambut yang mengalami tingkat pelapukan lanjut (Soil Survey Staff 1999 dan 2010).
Berdasarkan sifatnya tersebut, gambut memiliki kemampuan sebagai penambat (reservoir) air tawar yang cukup besar sehingga dapat menahan banjir saat musim hujan dan sebaliknya melepaskan air tersebut pada musim kemarau sehingga dapat mencegah intrusi air laut ke darat. Fungsi gambut sebagai pengatur hidrologi dapat terganggu apabila mengalami kondisi drainase yang berlebihan karena material ini memiliki sifat kering tak balik, porositas yang tinggi, dan bobot isi yang rendah. Gambut yang telah mengalami kekeringan sampai batas kering tak balik, akan memiliki bobot isi yang sangat ringan sehingga mudah hanyut terbawa air hujan, bentuknya seperti pasir semu (psedosand), mudah terbakar, sulit menyerap air kembali, yang artinya kehilangan fungsinya sebagai tanah.
2.   Konservasi keanakeragaman hayati
Gambut hanya terdapat di sebagian kecil permukaan bumi. Lahan gambut di dunia diperkirakan seluas 400 juta ha atau hanya sekitar 3% daratan di permukaan bumi ini (Lappalainen, 1996). Jumlahnya yang terbatas dan sifatnya yang unik menyebabkan gambut merupakan habitat unik bagi kehidupan beraneka macam flora dan fauna. Beberapa macam tumbuhan ternyata hanya dapat hidup dengan baik di lahan gambut, sehingga apabila lahan ini mengalami kerusakan, dunia akan kehilangan beraneka macam jenis flora karena tidak mampu tumbuh pada habitat lainnya.
Contoh tumbuhan spesifik lahan gambut yang memiliki nilai ekonomi tinggi adalah jelutung (Dyera custulata), ramin (Gonystylus bancanus), dan meranti (Shorea sp.), kempas (Koompassia malaccensis), punak (Tetramerista glabra), perepat (Combretocarpus royundatus), pulai rawa (Alstonia pneumatophora), terentang (Campnosperma sp.), bungur (Lagestroemia spesiosa) dan nyatoh (Palaquium sp.) (Tricahyo et al. 2004).
Sedangkan satwa langka pada habitat ini antara lain buaya sinyulong (Tomistoma schlegelii), beruang madu (Helarctos malayanus), tapir (Tapirus indicus), mentok rimba (Cairina scutulata), dan bangau tongtong (Leptoptilos javanicus) yang merupakan salah satu spesies burung air yang dilindungi, dan terdaftar dalam Appendix 1CITES, serta masuk dalam kategori Vulnerable dalam Redlist IUCN. Keanekaragaman hayati yang hidup di habitat lahan gambut merupakan sumber plasma nutfah yang dapat digunakan untuk memperbaiki sifat-sifat varietas atau jenis flora dan fauna komersial sehingga diperoleh komoditas yang tahan penyakit, berproduksi tinggi atau sifat-sifat menguntungkan lainnya.
3.   Penjaga iklim global
Perubahan iklim merupakan fenomena global yang ditandai dengan berubahnya suhu dan distribusi curah hujan. Kontributor terbesar bagi terjadinya perubahan tersebut adalah gas-gas di atmosfer yang sering disebut Gas Rumah Kaca (GRK) seperti karbondioksida (CO2), metana (CH4), dan Nitrat oksida (N2O) yang konsentrasinya terus mengalami peningkatan (Murdiyarso & Suryadiputra 2004). Gas-gas tersebut memiliki kemampuan menyerap radiasi gelombang panjang yang bersifat panas sehingga suhu bumi akan semakin panas jika jumlah gas-gas tersebut meningkat di atmosfer.
Meningkatnya suhu udara secara global akan merubah peta iklim dunia seperti perubahan distribusi curah hujan serta arah dan kecepatan angin. Semuanya itu akan berdampak langsung pada berbagai kehidupan di bumi seperti berkembangnya penyakit pada hewan, manusia maupun tanaman, perubahan produktivitas tanaman, kekeringan, banjir dan sebagainya.
Gambut memiliki kandungan unsur karbon (C) yang sangat besar. Menurut perhitungan Maltby dan Immirtzi (1993), kandungan karbon yang terdapat dalam gambut di dunia sebesar 329-525 Giga Ton (GT) atau 35% dari total C dunia. Sedangkan gambut di Indonesia memiliki cadangan karbon sebesar 46 GT (1 GT = 109 ton) atau 8-14% dari karbon yang terdapat dalam gambut di dunia. Dengan demikian, gambut memiliki peran yang cukup besar sebagai penjaga iklim global. Apabila gambut tersebut terbakar atau mengalami kerusakan, materi ini akan mengeluarkan gas terutama CO2, N2O, dan CH4 ke udara dan siap menjadi perubah iklim dunia.
4.   Sarana budi daya
Pemanfaatan lahan gambut sebagai sarana budidaya tanaman sudah sejak lama dikenal oleh petani di Indonesia. Mereka memilih lokasi dengan cara yang cermat, memilih komoditas yang sesuai dan dalam skala yang masih di dukung oleh alam. Ketika kebutuhan komoditas pertanian makin besar karena meningkatnya pertumbuhan ekonomi dan penduduk, terjadi perluasan areal pertanian secara cepat. Perluasan areal ini sering kurang memperhatikan daya dukung dan sifat-sifat lahan gambut. Seiring dengan perencanaan yang kurang matang, terjadi pemanfaatan lahan yang tidak sesuai peruntukannya, kurangnya implementasi kaidah-kaidah konservasi lahan dan penggunaan teknologi yang cenderung kurang tepat. Akibatnya, terjadi kerusakan dimana-mana dan pengembangan pertanian dan perkebunan di lahan gambut sering mengalami kegagalan. Sebaliknya, pemanfaatan lahan gambut untuk pertanian atau perkebunan dalam skala terbatas, dengan memperhatikan kaidah-kaidah konservasi dan teknologi yang tepat, terbukti mampu menghasilkan produktivitas yang memadai dan mensejahterakan petani.
Daftar Pustaka
Lappalainen, 1996. Global Peat Resources. Finland: International Peat Society. Pp 53-281.
Maltby dan Immirtzi.1993. Carbon dynamics in peatlands and other wetland soils:Regional and global prespective.Chemosphere.
Notohadiprawiro, T., 1985. Selidik Cepat Ciri Tanah di Lapangan, Ghalia Indonesia, Jakarta, Indonesia.
Soil Survey Staff, 1999. Kunci Taksonomi Tanah, Edisi Kedua Bahasa Indonesia, Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Soil Survey Staff, 2010, Key to Soil Taxonomy, United States Departement of Agriculture (USDA), National Resources Conservation Services.


Tanah Gambut

Gambut merupakan ordo Histosol, yaitu tanah yang didominasi bahan organik dengan ketebalan lebih dari 40 cm (Soil Survey Staff 1999 dan 2010). Istilah gambut berasal dari bahasa Banjar dan nama desa di selatan kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan, untuk menunjukkan kawasan yang didominansi oleh rawa yang terbentuk dari bahan organik tumbuhan. Di Kalimantan Barat, orang Melayu menyebutnya sepok untuk menunjukkan semacam konotasi negatif tentang gambut. Sepok berarti tua, atau ketinggalan zaman, berarti tanah gambut bermakna tanah yang tidak subur. Indonesia memiliki gambut tropis terluas di dunia, dengan prakiraan luas  21 juta hektar (Agus & Subiksa 2008). Sebagian besar lahan dan hutan gambut tersebut terdapat di Pulau Kalimantan, Sumatera dan Papua.
Sifat-sifat fisik gambut yang penting adalah tanah gambut tersusun atas bahan organik lebih dari 65% dan memiliki kemampuan yang tinggi dalam menyimpan air (Andriesse 1988). Bobot isi gambut nilainya sangat rendah apabila dibandingkan dengan bobot isi tanah mineral. Kisaran bobot isi gambut antara 0.04–0.3 g/cm3 (Anshari et al. 2009). Jika mengalami kekeringan kadar air <100%, gambut kehilangan kemampuan menyerap air (irreversible drying) dan menjadi bahan organik kering yang tidak cocok untuk digunakan sebagai media bercocok tanam dan kehilangan fungsinya sebagai tanah (Agus &Subiksa 2008).
Gambut umumnya bereaksi masam dengan nilai pH antara 3 sampai 4.5. Jika pH tanah sudah mencapai 5, lahan gambut cukup baik untuk pertanian (Agus & Subiksa 2008). Kejenuhan basah sangat rendah (< 10%) dan memiliki Kapasitas Tukar Kation (KTK) yang tinggi atau sangat kuat mengikat kation dalam koloid tanah. Gambut tropis berasal dari proses pelapukan bahan organik tumbuhan berkayu yang memiliki kandungan karbon yang tinggi antara 50-60% (Anshari 2008 & Page et al, 2004). Karbon dalam gambut sebagian besar terdiri atas karbon organik. Umumnya gambut termasuk lahan marjinal untuk pertanian karena kekurangan unsur-unsur makro dan mikro.
Daftar Pustaka
Andriesse, J.P. 1988. Nature and Management of Tropical Peat Soils. Food and Agriculture Organization of The United Nation, Rome.
Anshari, G. 2008. Carbon contents in freshwater peatland forest of Danau Sentarum National Park. A paper presented at International Symposium on Tropical Peatland held at Hilton Kuching, Sarawak from 19 – 21 August 2008. The symposium was organized by University Malaysia Sarawak (Unimas) and Malaysian Agricultural Research & Development Institute (MARDI) in collaboration with CARBOPEAT and in partnership with International Peat Society (IPS).
Anshari, G., Lubis, M., Afifudin. 2009. Informasi kedalaman gambut, degradasi lahan, dan rosot karbon untuk Pengelolaan Gambut Lestari. Laporan Penelitian. DP2M Dikti. Jakarta.
Agus & Subiksa, 2008. Konsorsium penelitian dan pengembangan perubahan iklim pada sektor pertanian. Balai Pesar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. Bogor.
Page, S.E., Weiss. D., Rieley, J.O., Shotyk, W., Limin, S.H. 2004. A record of Late Pleistocene and Holocene Carbon accumulation and climate change from an equatorial peat bog (Kalimantan, Indonesia): Implications for past, present and future carbon dynamics. J. Quaternary Sci. 19(7): 625-636.
Soil Survey Staff, 1999. Kunci Taksonomi Tanah, Edisi Kedua Bahasa Indonesia, Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Soil Survey Staff, 2010, Key to Soil Taxonomy, United States Departement of Agriculture (USDA), National Resources Conservation Services.