• This is Slide 1 Title

    This is slide 1 description. Go to Edit HTML and replace these sentences with your own words. This is a Blogger template by Lasantha - PremiumBloggerTemplates.com...

  • This is Slide 2 Title

    This is slide 2 description. Go to Edit HTML and replace these sentences with your own words. This is a Blogger template by Lasantha - PremiumBloggerTemplates.com...

  • This is Slide 3 Title

    This is slide 3 description. Go to Edit HTML and replace these sentences with your own words. This is a Blogger template by Lasantha - PremiumBloggerTemplates.com...

Selasa, 11 Maret 2014

Kebakaran Hutan dan Lahan Riau (Penyebab dan Akibatnya)

Kebakaran hutan dan lahan tentu dimulai dengan adanya api yang disulutkan. Dalam teori segitiga api, api tidak akan berjalan sendiri (menyala) tanpa adanya bahan yang dibakar dan oksigen (O2). Bahan bakar dalam kebakaran hutan dan lahan kali ini tentu adalah hutan dan lahan gambut yang telah rusak.  Kerusakan lahan gambut dapat dipicu antara lain oleh kegiatan penebangan liar, pembukaan lahan pertanian, industri dan pemukiman, serta pembuatan parit/saluran. Kegiatan-kegiatan tersebut berdampak pada terjadinya pengeringan gambut dan subsiden yang akan menimbulkan kebakaran di musim kemarau dan banjir di musim hujan serta berbagai bencana ekologis lainnya.
Tipe kebakaran lahan gambut adalah tipe kebakaran bawah tanah (underground fire), dan tidak menyebabkan nyala yang besar, atau hanya menyebabkan pembaraan (smoldering). Pembaraan dapat diartikan sebagai hasil oksidasi bahan bakar padat tanpa penyalaan. Dengan demikian reaksi oksidasi dan panas dilepaskan dari permukaan bahan bakar padat. Sebaliknya, hasil reaksi oksidasi pada penyalaan terjadi pada fase gas. Pada pembaraan, suhu, dan kecepatan dan jumlah panas yang dilepaskan relatif lebih rendah daripada penyalaan. Umumnya, temperatur puncak pembaraan berkisar antara 500 – 700 °C, dengan kecepatan pelepasan panas 1-50 mm/jam. Sedangkan pada penyalaan, temperatur mencapai  1500 °C, dan dengan kecepatan 1500 mm/jam (Syaufina 2008). Dampak pembaraan adalah tingginya emisi, terutama senyawa organik, CO, dan polyaromatic hydrocarbon, mungkin terjadi peralihan dari bara menjadi nyala secara tiba-tiba, dan sulit dipadamkan (Syaufina 2008).
Kebakaran lahan gambut secara nyata berpengaruh terhadap terdegradasinya kondisi lingkungan, kesehatan manusia dan aspek sosial ekonomi bagi masyarakat (Hermawan 2006):
a.   Menurunnya kondisi lingkungan : Perubahan kualitas fisik gambut (penurunan porositas total, penurunan kadar air tersedia, penurunan permeabilitas dan meningkatnya kerapatan lindak); Perubahan kualitas kimia gambut (peningka­tan pH, kandungan N-total, kandungan fosfor dan kandungan basa total yaitu Kalsium, Mag­nesium dan Kalium, tetapi terjadi penurunan kandungan C-organik); perkembangan populasi dan kompo­sisi vegetasi hutan akan terganggu (benih-benih vegetasi di dalam tanah gambut terbakar) sehingga akan menurunkan keanek­aragaman hayati; rusaknya siklus hidrologi (menurunkan kemam­puan intersepsi air hujan ke dalam tanah, men­gurangi transpirasi vegetasi, menurunkan kelemb­aban tanah, dan meningkatkan jumlah air yang mengalir di permukaan (surface run off). Kondisi demikian menyebabkan gambut menjadi kering dan mudah terbakar, terjadinya perubahan kualitas air serta turunnya populasi dan keanekaragaman ikan di perairan; gambut menyimpan cadangan karbon, apabila terjadi kebakaran lahan maka akan menjadi penyumbang emisi carbon yang berdampak pada pemanasan global.
b.   Kesehatan manusia : Ribuan penduduk dilaporkan menderita penyakit in­feksi saluran pernapasan, sakit mata dan batuk sebagai akibat dari asap kebakaran. Kebakaran gambut juga menyebabkan rusaknya kualitas air, sehingga air men­jadi kurang layak untuk diminum.
c.   Aspek sosial ekonomi Terganggunya kegiatan transportasi; terganggunya sektor pariwisata; terjadinya protes dan tuntutan dari negara tet­angga akibat dampak asap kebakaran; meningkatnya pengeluaran akibat biaya untuk pemadaman.
Hingga saat ini, pemerintah pusat dan daerah berupaya melakukan pengendalian kebakaran. Namun usaha tersebut belum optimal karena rendahnya kesadaran dan partisipasi masyarakat dalam pengendalian kebakaran tersebut. Fakta dari beberapa kejadian kebakaran, pengendalian lebih difokuskan pada aspek pemadaman daripada aspek pencegahan terutama pencegahan dari masyarakat lokal atau disekitar kawasan kejadian kebakaran (Hermawan 2006).
Pengelolaan kebakaran lahan gambut meliputi upaya pencegahan dan pengendalian. Kedua upaya itu harus dilakukan secara sistematis, comprehensive, dan terpadu, dengan melibatkan semua pihak yang berkepentingan (stakeholder). Tindakan pencegahan merupakan komponen terpenting dari seluruh sistem penanggulangan bencana termasuk kebakaran. Bila pencegahan dilaksanakan dengan baik, seluruh bencana kebakaran dapat diminimalkan atau bahkan dihindarkan. Pencegahan juga merupakan cara yang ekonomis untuk mengurangi kerusakan dan kerugian yang ditimbulkan oleh kebakaran tanpa harus menggunakan peralatan yang mahal. Oleh karena itu strategi pengendalian kebakaran difokuskan pada manajemen kebakaran berbasis masyarakat. Dimana manajemen kebakaran tersebut  diarahkan untuk kegiatan pencegahan daripada usaha pemadaman kebakaran dengan melibatkan partisipasi masyarakat lokal.
Kebakaran gambut tidak akan terjadi pada hutan gambut yang tidak terganggu tetapi lebih sering terjadi pada lahan gambut yang telah didrainase dan dikonversi menjadi penggunaan lain (terganggu). Menurut Anshari et al. 2010 penyiapan lahan gambut untuk pertanian kecil umumnya dilakukan dengan metode pembakaran. Kegiatan ini dilakukan oleh petani dengan maksud memperbaiki pH tanah agar lahan menjadi lebih baik untuk ditanami. Namun, pembakaran gambut menyebabkan berbagai dampak lingkungan yang merugikan. Polusi kabut asap selalu terjadi pada pembakaran gambut dan seringkali kali pembakaran gambut menjadi tidak terkendali sehingga merusak kondisi fisik lahan gambut yaitu pengeringan gambut dan penurunan permukaan gambut.
Filosofi api tentu berlaku pada bencana yang sedang negeri bertuah, bumi melayu
Tak kan ada asap jikalau tak ada api, tak kan ada bencana jika tak dimulai
Tak ada bencana kecuali itu peringatan untuk kita lebih bijak mengelola Alam ini….

Daftar Pustaka
Anshari. G, Rossy, M. Nuriman. 2010. Pengujian Dampak Penyiapan Lahan Gambut dengan Metode Pembakaran Terkendali terhadap Perubahan Beberapa Sifat Fisik dan Kimia dan Besarnya Emisi Karbon. Jurnal Indonesia Managing Higher Education For Relevance And Efficiency (I-Mhere) Universitas Tanjungpura. Pontianak.
Anshari, M. Afifudin, M. Nuriman, E. Gusmayanti, L. Arianie, R. Susana, R.W. Nusantara, J.S. Rahajoe, A. Rafiastanto, 2010, Drainage and Land Use Impacts on Changes  in Selected Peat Properties and Peat Degradation in West Kalimantan Province,  Indonesia. Biogeosciences, 3403–419.
Hermawan, W. 2006. Dampak Kebakaran Kebun dan Lahan terhadap LingkunganHidup. Dinas Perkebunan Provinsi Kalimantan Barat.
Syaufina, L. 2008. Kebakaran Hutan dan Lahan Di Indonesia. Edisi pertama. Bayumedia Publishing. Malang.

Manfaat Lahan Gambut

Sebagai salah satu bentuk lahan, gambut tentu memiliki peran penting dalam kehidupan manusia. Gambut sebagai sumberdaya alam berfungsi sebagai pengatur hidrologi, sarana konservasi keanekaragaman hayati, tempat budi daya, dan sumber energi. Selain itu, gambut juga memiliki peran besar sebagai pengendali perubahan iklim global karena kemampuannya dalam menyerap dan menyimpan cadangan karbon dunia.
1.      Pengatur hidrologi
Kadar air gambut dapat berdasarkan tingkat kematangannya dibagi tiga kelas, yaitu saprik, hemik dan fibrik (Notohadiprawiro, 1985). Gambut saprik (< 450 %) adalah gambut yang berada dalam kondisi pelapukan awal, gambut hemik (450-850%) adalah gambut yang mengalami tingkat pelapukan pertengahan, sedangkan Gambut fibrik (> 850%) adalah gambut yang mengalami tingkat pelapukan lanjut (Soil Survey Staff 1999 dan 2010).
Berdasarkan sifatnya tersebut, gambut memiliki kemampuan sebagai penambat (reservoir) air tawar yang cukup besar sehingga dapat menahan banjir saat musim hujan dan sebaliknya melepaskan air tersebut pada musim kemarau sehingga dapat mencegah intrusi air laut ke darat. Fungsi gambut sebagai pengatur hidrologi dapat terganggu apabila mengalami kondisi drainase yang berlebihan karena material ini memiliki sifat kering tak balik, porositas yang tinggi, dan bobot isi yang rendah. Gambut yang telah mengalami kekeringan sampai batas kering tak balik, akan memiliki bobot isi yang sangat ringan sehingga mudah hanyut terbawa air hujan, bentuknya seperti pasir semu (psedosand), mudah terbakar, sulit menyerap air kembali, yang artinya kehilangan fungsinya sebagai tanah.
2.   Konservasi keanakeragaman hayati
Gambut hanya terdapat di sebagian kecil permukaan bumi. Lahan gambut di dunia diperkirakan seluas 400 juta ha atau hanya sekitar 3% daratan di permukaan bumi ini (Lappalainen, 1996). Jumlahnya yang terbatas dan sifatnya yang unik menyebabkan gambut merupakan habitat unik bagi kehidupan beraneka macam flora dan fauna. Beberapa macam tumbuhan ternyata hanya dapat hidup dengan baik di lahan gambut, sehingga apabila lahan ini mengalami kerusakan, dunia akan kehilangan beraneka macam jenis flora karena tidak mampu tumbuh pada habitat lainnya.
Contoh tumbuhan spesifik lahan gambut yang memiliki nilai ekonomi tinggi adalah jelutung (Dyera custulata), ramin (Gonystylus bancanus), dan meranti (Shorea sp.), kempas (Koompassia malaccensis), punak (Tetramerista glabra), perepat (Combretocarpus royundatus), pulai rawa (Alstonia pneumatophora), terentang (Campnosperma sp.), bungur (Lagestroemia spesiosa) dan nyatoh (Palaquium sp.) (Tricahyo et al. 2004).
Sedangkan satwa langka pada habitat ini antara lain buaya sinyulong (Tomistoma schlegelii), beruang madu (Helarctos malayanus), tapir (Tapirus indicus), mentok rimba (Cairina scutulata), dan bangau tongtong (Leptoptilos javanicus) yang merupakan salah satu spesies burung air yang dilindungi, dan terdaftar dalam Appendix 1CITES, serta masuk dalam kategori Vulnerable dalam Redlist IUCN. Keanekaragaman hayati yang hidup di habitat lahan gambut merupakan sumber plasma nutfah yang dapat digunakan untuk memperbaiki sifat-sifat varietas atau jenis flora dan fauna komersial sehingga diperoleh komoditas yang tahan penyakit, berproduksi tinggi atau sifat-sifat menguntungkan lainnya.
3.   Penjaga iklim global
Perubahan iklim merupakan fenomena global yang ditandai dengan berubahnya suhu dan distribusi curah hujan. Kontributor terbesar bagi terjadinya perubahan tersebut adalah gas-gas di atmosfer yang sering disebut Gas Rumah Kaca (GRK) seperti karbondioksida (CO2), metana (CH4), dan Nitrat oksida (N2O) yang konsentrasinya terus mengalami peningkatan (Murdiyarso & Suryadiputra 2004). Gas-gas tersebut memiliki kemampuan menyerap radiasi gelombang panjang yang bersifat panas sehingga suhu bumi akan semakin panas jika jumlah gas-gas tersebut meningkat di atmosfer.
Meningkatnya suhu udara secara global akan merubah peta iklim dunia seperti perubahan distribusi curah hujan serta arah dan kecepatan angin. Semuanya itu akan berdampak langsung pada berbagai kehidupan di bumi seperti berkembangnya penyakit pada hewan, manusia maupun tanaman, perubahan produktivitas tanaman, kekeringan, banjir dan sebagainya.
Gambut memiliki kandungan unsur karbon (C) yang sangat besar. Menurut perhitungan Maltby dan Immirtzi (1993), kandungan karbon yang terdapat dalam gambut di dunia sebesar 329-525 Giga Ton (GT) atau 35% dari total C dunia. Sedangkan gambut di Indonesia memiliki cadangan karbon sebesar 46 GT (1 GT = 109 ton) atau 8-14% dari karbon yang terdapat dalam gambut di dunia. Dengan demikian, gambut memiliki peran yang cukup besar sebagai penjaga iklim global. Apabila gambut tersebut terbakar atau mengalami kerusakan, materi ini akan mengeluarkan gas terutama CO2, N2O, dan CH4 ke udara dan siap menjadi perubah iklim dunia.
4.   Sarana budi daya
Pemanfaatan lahan gambut sebagai sarana budidaya tanaman sudah sejak lama dikenal oleh petani di Indonesia. Mereka memilih lokasi dengan cara yang cermat, memilih komoditas yang sesuai dan dalam skala yang masih di dukung oleh alam. Ketika kebutuhan komoditas pertanian makin besar karena meningkatnya pertumbuhan ekonomi dan penduduk, terjadi perluasan areal pertanian secara cepat. Perluasan areal ini sering kurang memperhatikan daya dukung dan sifat-sifat lahan gambut. Seiring dengan perencanaan yang kurang matang, terjadi pemanfaatan lahan yang tidak sesuai peruntukannya, kurangnya implementasi kaidah-kaidah konservasi lahan dan penggunaan teknologi yang cenderung kurang tepat. Akibatnya, terjadi kerusakan dimana-mana dan pengembangan pertanian dan perkebunan di lahan gambut sering mengalami kegagalan. Sebaliknya, pemanfaatan lahan gambut untuk pertanian atau perkebunan dalam skala terbatas, dengan memperhatikan kaidah-kaidah konservasi dan teknologi yang tepat, terbukti mampu menghasilkan produktivitas yang memadai dan mensejahterakan petani.
Daftar Pustaka
Lappalainen, 1996. Global Peat Resources. Finland: International Peat Society. Pp 53-281.
Maltby dan Immirtzi.1993. Carbon dynamics in peatlands and other wetland soils:Regional and global prespective.Chemosphere.
Notohadiprawiro, T., 1985. Selidik Cepat Ciri Tanah di Lapangan, Ghalia Indonesia, Jakarta, Indonesia.
Soil Survey Staff, 1999. Kunci Taksonomi Tanah, Edisi Kedua Bahasa Indonesia, Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Soil Survey Staff, 2010, Key to Soil Taxonomy, United States Departement of Agriculture (USDA), National Resources Conservation Services.


Tanah Gambut

Gambut merupakan ordo Histosol, yaitu tanah yang didominasi bahan organik dengan ketebalan lebih dari 40 cm (Soil Survey Staff 1999 dan 2010). Istilah gambut berasal dari bahasa Banjar dan nama desa di selatan kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan, untuk menunjukkan kawasan yang didominansi oleh rawa yang terbentuk dari bahan organik tumbuhan. Di Kalimantan Barat, orang Melayu menyebutnya sepok untuk menunjukkan semacam konotasi negatif tentang gambut. Sepok berarti tua, atau ketinggalan zaman, berarti tanah gambut bermakna tanah yang tidak subur. Indonesia memiliki gambut tropis terluas di dunia, dengan prakiraan luas  21 juta hektar (Agus & Subiksa 2008). Sebagian besar lahan dan hutan gambut tersebut terdapat di Pulau Kalimantan, Sumatera dan Papua.
Sifat-sifat fisik gambut yang penting adalah tanah gambut tersusun atas bahan organik lebih dari 65% dan memiliki kemampuan yang tinggi dalam menyimpan air (Andriesse 1988). Bobot isi gambut nilainya sangat rendah apabila dibandingkan dengan bobot isi tanah mineral. Kisaran bobot isi gambut antara 0.04–0.3 g/cm3 (Anshari et al. 2009). Jika mengalami kekeringan kadar air <100%, gambut kehilangan kemampuan menyerap air (irreversible drying) dan menjadi bahan organik kering yang tidak cocok untuk digunakan sebagai media bercocok tanam dan kehilangan fungsinya sebagai tanah (Agus &Subiksa 2008).
Gambut umumnya bereaksi masam dengan nilai pH antara 3 sampai 4.5. Jika pH tanah sudah mencapai 5, lahan gambut cukup baik untuk pertanian (Agus & Subiksa 2008). Kejenuhan basah sangat rendah (< 10%) dan memiliki Kapasitas Tukar Kation (KTK) yang tinggi atau sangat kuat mengikat kation dalam koloid tanah. Gambut tropis berasal dari proses pelapukan bahan organik tumbuhan berkayu yang memiliki kandungan karbon yang tinggi antara 50-60% (Anshari 2008 & Page et al, 2004). Karbon dalam gambut sebagian besar terdiri atas karbon organik. Umumnya gambut termasuk lahan marjinal untuk pertanian karena kekurangan unsur-unsur makro dan mikro.
Daftar Pustaka
Andriesse, J.P. 1988. Nature and Management of Tropical Peat Soils. Food and Agriculture Organization of The United Nation, Rome.
Anshari, G. 2008. Carbon contents in freshwater peatland forest of Danau Sentarum National Park. A paper presented at International Symposium on Tropical Peatland held at Hilton Kuching, Sarawak from 19 – 21 August 2008. The symposium was organized by University Malaysia Sarawak (Unimas) and Malaysian Agricultural Research & Development Institute (MARDI) in collaboration with CARBOPEAT and in partnership with International Peat Society (IPS).
Anshari, G., Lubis, M., Afifudin. 2009. Informasi kedalaman gambut, degradasi lahan, dan rosot karbon untuk Pengelolaan Gambut Lestari. Laporan Penelitian. DP2M Dikti. Jakarta.
Agus & Subiksa, 2008. Konsorsium penelitian dan pengembangan perubahan iklim pada sektor pertanian. Balai Pesar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. Bogor.
Page, S.E., Weiss. D., Rieley, J.O., Shotyk, W., Limin, S.H. 2004. A record of Late Pleistocene and Holocene Carbon accumulation and climate change from an equatorial peat bog (Kalimantan, Indonesia): Implications for past, present and future carbon dynamics. J. Quaternary Sci. 19(7): 625-636.
Soil Survey Staff, 1999. Kunci Taksonomi Tanah, Edisi Kedua Bahasa Indonesia, Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Soil Survey Staff, 2010, Key to Soil Taxonomy, United States Departement of Agriculture (USDA), National Resources Conservation Services.

Senin, 25 November 2013

Tiada yang Salah…

Rencana Allah sebaik-baiknya rencana yang dipersiapkan untuk mahluk ciptaanNy. Tiada kuasa dan daya usaha yang bisa mengubah takdir yang telah digariskan dalam hidup kita. Untungnya kita tidak tahu takdir apa yang akan kita hadapi di hidup kita. Bekal akal yang diberi sebagai pembeda antara manusia dan mahluk lain yang Dia ciptakan.
Tidak ada yang patut kita ingkari atas takdir yang terjadi dalam hidup kita. Bukankah rukun iman yang terakhir adalah Beriman kepada Qadha dan Qadar, Menurut bahasa  Qadha memiliki beberapa pengertian yaitu: hukum, ketetapan,pemerintah, kehendak, pemberitahuan, penciptaan. Menurut istilah Islam, yang dimaksud dengan qadha adalah ketetapan Allah sejak zaman Azali sesuai dengan iradah-Nya tentang segala sesuatu yang berkenan dengan makhluk. Sedangkan Qadar arti qadar menurut bahasa adalah: kepastian, peraturan, ukuran. Adapun menurut Islam qadar perwujudan atau kenyataan ketetapan Allah terhadap semua makhluk dalam kadar dan berbentuk tertentu sesuai dengan iradah-Nya.
            Pertanyaannya adalah kenapa kita masih saja mengeluh, bersedih, kecewa mungkin memaki atas masalah/kemalangan yang terjadi dalam hidup kita. Sadarkah kita semakin berat masalah/ cobaan yang kita hadapi seyogyanya Allah percaya kita mampu menghadapinya. Dia maha tahu berapa besar kapasitas jiwa dan raga kita untuk menghadapi cobaan yang oleh Nya dijadikan sebagai ujian ke Taqwaan dan keimanan kita terhadap Nya. Yakinlah setelah semua cobaan ini terlalui kita akan menjadi pribadi yang lebih bijaksana dalam hadapi hidup ini.

Allah tidak menganjurkan kita untuk mencari solusi atas masalah yang kita hadapi. Dia menyuruh kita “…jadikan Sabar dan Sholat sebagai Penolongmu” selalu meminta petunjuk kepadaNya atas masalah yang kita hadapi, meminta kesabaran atas cobaan ujian untuk kita. So..lupakan masalahnya,kesedihannya, jalani hidup ini dengan ikhlas dan yakinkan diri kita bahwa Allah sebaik-baiknya Perencana hidup kita. ”..Sesungguhnya shalatku, ibadatku,hidup ku dan Matiku semata hanya untuk Allah, Tuhan seru sekalian Alam”. 

Kamis, 30 Mei 2013

Masyarakat Tradisional dan Sistem Pengetahuannya (Bagian 2)

Pengetahuan masyarakat lokal tentang lingkungannya berkembang dari pengalaman sehari-hari. Dari sistem pengetahuan ini kebudayaan mereka terus beradapatasi dan berkembang agar mampu menjawab persoalan-persoalan yang muncul. Berbagai tradisi, upacara adat, dan tindakan sehari-hari mereka mengandung makna yang dalam atas hubungan mereka dengan lingkungannya. Konservasi tradisional, yang didasari nilai-nilai dan kearifan lingkungan, terbukti mampu mempertahankan kehidupan mereka selama berabad-abad di lingkungan lokal mereka hidup. Hal ini menjadi sangat relevan dan penting diungkapkan di- tengah pergulatan kita mencari pemecahan atas persoalan-persoalan lingkungan, khususnya kerusakan sumber daya alam, yang muncul sebagai dampak pembangunan yang beorientasi pada pertumbuhan ekonomi (Nababan 1995).
Prinsip-prinsip konservasi yang telah mengkristal dalam berbagai bentuk kearifan tradisional, telah mengakar dan berkembang pada berbagai bentuk praktek yang diterapkan masyarakat tersebut. Kaidah-kaidah konservasi alam diadaptasi dari pengalaman mereka menyelaraskan diri dengan alam. Pengalaman-pengalaman tersebut kemudian dihimpun dan disebarluaskan kepada seluruh anggota masyarakat untuk dijadikan pedoman dan bagi pelanggarnya diberlakukan sanksi, sehingga lama kelamaan menjadi tradisi dan tata nilai kehidupan mereka (Wiratno 2004).
Menurut Nababan (1995) kebudayaan-kebudayaan tradisional, khususnya dalam hal pengelolaan sumberdaya alam secara tradisional telah memiliki prinsip-prinsip konservasi diantaranya:
  1. Rasa hormat yang mendorong keselarasan (harmoni) hubungan manusia dengan alam sekitarnya. Dalam hal ini masyarakat tradisional lebih condong memandang dirinya sebagai bagaian dari alam itu sendiri.
  2. Rasa memiliki yang esklusif bagi komonitas atas suatu kawasan atau sumberdaya alam tertentu sebagai hak kepemilikan bersama (communal property resource). Rasa memiliki ini mengikat semua warga untuk menjaga dan mengamankan sumberdaya bersama ini dari pihak luar.
  3. Sistem pengetahuan masyarakat setempat (local knowledge system) yang memberikan kemampuan kepada masyarakat untuk memecahkan masalah-masalah yang mereka hadapi dalam memanfaatkan sumberdaya alam yang terbatas.
  4. Daya adaptasi dalam penggunaan teknologi sederhana yang tepat guna dan hemat (include) energi sesuai dengan kondisi alam setempat.
  5. Sistem alokasi dan penegakan aturan-aturan adat yang bisa mengamankan sumberdaya milik bersama dari penggunaan berlebihan, baik oleh masyarakat sendiri maupun masyarakat luar (pendatang). Dalam hal ini masyarakat tradisional sudah memiliki pranata dan hukum adat yang mengatur semua aspek kehidupan bermasyarakat dalam suatu kesatuan sosial tertentu
  6. Mekanisme pemerataan (distribusi) hasil “panen” atas sumberdaya milik bersama yang dapat mencegah munculnya kesenjangan berlebih di dalam masyarakat tradisional. Tidak adanya kecemburuan atau kemarahan sosial akan mencegah pencurian atau penggunaan sumberdaya di luar aturan adat yang berlaku.


Daftar Pustaka
Adimihardja, K. 1996. Kebudayaan dan Lingkungan. Studi Bibliografi. Ilham Jaya Bandung
Kartikawati, S.M. 2004. Pemanfaatan Sumberdaya Tumbuhan oleh Masyarakat Dayak Meratus di Kawasan Hutan Pegunungan Meratus, Kabupaten Hulu Sungai Tengah. Tesis pada Sekolah Pascasarjana IPB.Bogor
Nababan, A. 1995. Kearifan Tradisional dan Pelestarian Lingkungang Hidup di Indonesia. Analisis CSIS. TH. XXIV, No.6 Edisi November – Desember. Hal 421-435
Wiratno, Indriyo D, Syarifudin A, Kartikasari A. 2004. Berkaca di Cermin Retak ;Refleksi Konservasi dan Implikasi bagi Pengelolaan Taman Nasional. The Gibbon Fondation Indonesia, PILI-Ngo Movement. Jakarta 

Masyarakat Tradisional dan Sistem Pengetahuannya (Bagian 1)

Sistem pengetahuan yang merupakan salah satu unsur kebudayaan muncul dari pengalaman-pengalaman individu yang disebabkan oleh adanya interaksi diantara mereka dalam menanggapi lingkungannya. Pengalaman itu diabstraksikan menjadi konsep-konsep, pendirian-pendirian, dan pedoman-pedoman tingkah laku bermasyarakat (Adimihardja 1996).
Pengetahuan merupakan kapasitas manusia untuk memahami dan menginterpretasikan baik hasil pengamatan maupun pengalaman, sehingga bisa digunakan untuk meramal atau sebagai dasar pertimbangan dalam pengambilan keputusan (Kartikawati 2004). Istilah traditional knowledge atau pengetahuan tradisional mencakup pengetahuan, inovasi, praktek masyarakat adat dan komunitas lokal dalam kehidupan mereka. Pengetahuan tradisional telah berkembang sejak berabad-abad, diwariskan dari generasi selanjutnya secara lisan dan beradaptasi dengan budaya setempat dalam bentuk cerita, lagu, dongeng, nilai budaya, kepercayaan, ritual, adat, bahasa, dan praktek pertanian (Plotkin 1991; Adimihardja 1996).
Secara bahasa, tradisi berarti adat kebiasaan yang turun temurun (dari nenek moyang) yang masih dijalankan masyarakat atau adat yang telah lama dijalankan dan dipengaruhi oleh hukum yang tidak tertulis. Sedangkan tradisional berarti bersifat adat kebiasaaan yang turun temurun. Pengetahuan ini merupakan hasil kreativitas dan uji coba secara terus menerus dengan melibatkan inovasi internal dan pengaruh eksternal dalam usaha menyesuaikan dengan kondisi baru (Adimihardja 1996).
Wiratno (2004) menyatakan bahwa karekteristik yang agak jelas dari masyarakat tradisional adalah bahwa mereka masih menjaga tradisi peninggalan nenek moyangnya, baik dalam hal aturan hubungan antar manusia maupun dengan alam sekitarnya yang mengutamakan keselarasan dan keharmonisan.  Ciri lain yang menonjol dari masyarakat ini adalah tingginya adaptasi sosial budaya serta releginya dengan mekanisme alam dan sekitarnya. Karenanya, mereka juga bukan manusia yang statis, karena sistem pengetahuan mereka juga berkembang selaras dengan dinamika permasalahan serta faktor-faktor eksternal lain yang mereka hadapi.
Masyarakat tradisonal adalah komonitas yang dinamis yang berubah dari waktu ke waktu sebagai suatu proses adaptasi sesuai dengan perubahan yang terjadi pada lingkungan lokalnya. Sumber perubahan ini biasanya berupa masuknya pengaruh dari luar, tetapi juga bisa muncul dari dalam masyarakat itu sendiri. Persoalannya adalah apabila pengaruh unsur-unsur luar (lebih tepat disebut: gelombang intervensi) menjadi sedemikan besar sehingga nilai-nilai dan pranata-pranata sosial (adat) tidak mampu lagi mengakomodasikan nilai-nilai dan pranata sosial yang baru yang datang dari luar dalam suatu proses transformasi yang sehat (Nababan 1995).

Etnobotani

Pengertian etnobotani          
Etnobotani menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah ilmu botani mengenai pemanfaatan tumbuh-tumbuhan dalam keperluan kehidupan sehari-hari dan adat suku bangsa. Etnobotani berasal dari dua kata yunani yaitu Ethnos dan botany. Etno berasal dari kata ethnos yang berarti memberi ciri pada kelompok dari suatu populasi dengan latar belakang yang sama baik dari adat istiadat, karekteristik, bahasa dan sejarahnya, sedangkan botani adalah ilmu yang mempelajari tentang tumbuhan. Dengan demikian etnobotani berarti kajian interaksi antara manusia dengan tumbuhan atau dapat diartikan sebagai studi mengenai pemanfaatan tumbuhan pada suatu budaya tertentu (Martin 1998).
Ruang lingkup
Etnobotani adalah cabang ilmu pengetahuan yang mendalami tentang persepsi dan konsepsi masyarakat tentang sumber daya nabati di lingkungannya. Dalam hal ini adalah upaya untuk mempelajari kelompok masyarakat dalam mengatur sistem pengetahuan anggotanya menghadapi tetumbuhan dalam lingkungannya, yang digunakan tidak saja untuk keperluan ekonomi tetapi juga untuk keperluan spiritual dan nilai budaya lainnya. Dengan demikian termasuk kedalamnya adalah pemanfaatan tumbuhan oleh penduduk setempat atau suku bangsa tertentu. Pemanfaatan yang dimaksud disini adalah pemanfaatan baik sebagai bahan obat, sumber pangan, dan sumber kebutuhan hidup manusia lainnya. Sedangkan disiplin ilmu lainnya yang terkait dalam penelitian etnobotani adalah antara lain linguistik, anthropologi, sejarah, pertanian, kedokteran, farmasi dan lingkungan (Suwahyono 1992).
Terdapat empat usaha utama yang berkaitan erat dengan etnobotani, yaitu: 1) pendokumentasian pengetahuan etnobotani tradisional; 2) penilaian kuantitatif tentang pemanfaatan dan pengelolaan sumber-sumber botani; 3) pendugaan tentang keuntungan yang dapat diperoleh dari tumbuhan, untuk keperluan sendiri maupun untuk tujuan komersial; dan 4) proyek yang bermanfaat untuk memaksimumkan nilai yang dapat diperoleh masyarakat lokal dari pengetahuan ekologi dan sumber-sumber ekologi (Martin 1998).
Daftar Pustaka
Martin, G.J. 1998. Penerjemah Maryati Mohamed. Ethnobotany, A People and Plants Conservation Manual. London (UK): Chapman and Hall
Suwahyono, N, Sudarsono B, Waluyo EB. 1992. Pengelolaan Data Etnobotani Indonesia. Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Etnobotani I. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Departemen Pertanian RI, LIPI, Perpustakaan Nasional RI. Bogor. Hal: 8-15

Kamis, 25 April 2013

Bogor (17 Januari 2010)


Tak terasa sudah 4 (empat) tahun lebih aku di kota hujan ini...
Awalny berat memang menjalani hidup di sini...
Rindu rumah, kangen keLuarga dan teman-teman..
Yang semuanya itu awalnya membuat aku mengeluh...
Tapi pada akhirnya ketika aku berada pada titik dimana aku harus meninggalkan kota ini,
Kenangan-kenangan awal sampai hari ini membuatku berat meninggalkan kota ini,
meninggalkn kampus, AsRama,kawan-kawan, dan yang paling berat bagiku adalah meninggalkan keberSaMAan dan kekeluargaan yg telah ada...
Kota ini mengajarkn aku banyak hal dalam hidup ini...
Hidup bukan hanya cerita bagaimana kita menjalaninya tapi juga bagaimana kita menyikapi hidup yang kita jalani...
Kota ini mengajarkan aku bagaimana memanajemen waktu,diri,
mengajarkan aku akan arti peRsahabatan,keluarga,kerja keras,menyikapi hidup,peRtemanan,cita-cita, obsesi, sakit hati, cinta, kekecewaan, pengHarapan dsb..
Yang itu semua mengantarkan aku sePerti sekarang...
Mengutip lakon dari aktor ternama "keluarga bukan tentang darah siapa yang mengalir dalam tubuh kita,tapi tentang siapa orang yang mencintai dan kita cintai"
untuk semua orang-orang yang telah menemani, mewarnai hari-hariku di kota ini,bagiku kalian semua adalah keluargaku..
Pada akhirnya aku memulai kehidupan baruku lagi... 
Bogor/17012010

Selasa, 23 April 2013

Syair Riau (lanjutan)


Keris Sempena berkelok lima
Layak dipakai derjah Laksamana
Kebesaran Riau adat ditempa
Budi melayu elok sempurna
Patah tumbuh hilang berganti
Kuncup berkembang payung negeri
Kain songket corak beragi
Baju kebaya pakaian putri

Sanggul bunda si lipat pandan
Masih dipakai di negeri Tambelan
Sangat termasyhur di tanah Bunguran
Pakaian bersampat orang Sianan

Moleh memecah tampuk selayang
Di Pasir Pangaraian berantai pinang
Ukiran putri dipinang orang
Adat nan elok bertanah jenjang

Bono berderum di muara Rokan
Senandung nelayan di ranah Bagan
Nyanyi petani Kuok dan Pangkalan
Bermayanglah nyiur di Tembilahan

Diriwayatkan pula Pulau Bengkalis
Terubuk bertulang dagingnya manis
Amat termasyhur sebilang majelis
Lembaga Adat berunjuk keris

Tenun Siak di puncak rebung
Gadis berjalan memakai kerudung
Pending di pinggang sambung menyambung
Dukuh di leher sangkung-bermeyangkung

Nak dara Daik jari berinai
Duduk menyulam di kain cindai
Selendang pelangi selalu dipakai
Bertapih kembang semuanya pandai

Di Hulu Bintan Kota Piring
Asal Riau negeri Beranting
Adat-Lembaga tumbuh seiring
Raja nan Baroh berpegang lembing...

Sumber : Indragiri Hilir (Halaman Bermain Malaysia, Hinterland Singapura)

Syair Riau


Dengan Bissmilah permulaan kalam
Puji dan syukur ke khalikul alam
Syair terurai kata diandam
Adat-lembaga sulam menyulam

Kehadirat Allah puja dan puji
Setinggi Riau ukup pewangi
Harum Semerbak resam Azali
Adat istiadat zaman bahari

Kisah berawal mulanya lembaga
Bersusun tumpuk Melayu raya
Negeri berteras si Riau-Lingga
Ke muara Kampar bergelar tahta

Liput menyeluruh Siak-Indragiri
Rokan Kuantan bertaut umbi
Adat dan Syarak bersanding kaji
Pinang sebatang tuah negeri

Madah pujangga Riau nan ria
Zikir dan didin beriring rebana
Celempong mengalun dimana-mana
Riau nan riuh gegap gempita

Riwayatnya negeri Indrasakti
Tempat bermukim Raja Ali Haji
Buku terkarang Gurindam dinukili
Semarak Riau Melayu abadi

Jurus adat sambung lembaga
Melebah luas ranak samudera
Ukuran negeri Selatan-Utara
Ranah Kuantan hingga Natuna

Betapa nian rayanya suku
Timur dan Barat harkat bersatu
Jazirah memanjang si dari Kuntu
Hingga ke Siak bersusun mutu

Sabtu, 13 April 2013

Sebuah Renungan Bersama


Aku mempunyai pasangan hidup...
Saat senang aku cari pasanganku
Saat sedih aku cari orang tua
Saat sukses aku ceritakan pada pasanganku
Saat gagal aku ceritakan pada bapak
Saat bahagia aku peluk erat pasanganku
Saat sedih aku peluk erat ibuku
Saat liburan aku bawa pasanganku
Saat aku sibuk, anak kuantar ke rumah bapak
Saat sambut valentine, selalu beri hadiah pada pasangan.
Saat sambut hari ibu, aku cuma ucapkan "Selamat Hari ibu"
Selalu aku ingat pasanganku
Selalu ibu yang ingat aku
Setiap saat aku akan telpon pasanganku
Kalau inget aku akan telpon orang tuaku
Selalu aku belikan hadiah untuk pasanganku
Entah kapan aku akan belikan hadiah untuk ibu
Renungkan :
"Kalau kau sudah habis belajar dan berkerja...
 bolehkah kau kirim uang untuk orang tuamu?
 Ibu tdk mnta banyak, lima puluh ribu sebulan pun cukuplah".
 Berderai air mata jika kita mendengarnya . . .
 Tapi kalau mereka sudah tiada . . .
 Ayah . .  Ibu . .
 Aku Rindu . . . . Sangat Rindu . . . . 


Konservasi Salo (Johannesteijsmannia altifrons)


Pada beberapa spesies tumbuhan, ancaman kelestarian tumbuhan berasal dari faktor intrinsik biologis dan sistem ekologi. Populasi spesies tumbuhan yang memiliki jumlah sedikit rentan terhadap kepunahan. Spesies ini cenderung mengalami pergeseran genetik dan kemungkinan kawin sedarah tinggi. Kehilangan genetik dan ragam genetik dapat menyebabkan populasi kurang mampu beradaptasi terhadap tekanan-tekanan baru yang timbul, seperti serangan hama dan penyakit (Fischer dan Matthies, 1998; Keller dan Waller, 2002) dalam Hamilton, A dan Patrick Hamilton (2006).
Populasi Salo dialam memiliki sebaran kelompok hal ini tentu memungkinkan terjadinya pergeseran ataupun kemungkinan kawin sedarah. Akan tetapi, perlu adanya pertimbangan dalam menilai ukuran kawin populasi tumbuhan di alam apakah populasi yang dipisahkan secara fisik juga terpisah secara biologis (konsep isolasi dan fragmentasi). Secara spasial mungkin terpisah akan tetapi, secara genetik populasi bisa jadi dihubungkan melalui penyerbukan silang atau cara-cara penyebaran biji. Spesies-spesies yang penyerbukannya dibantu angin lebih mungkin kawin silang antara populasi yang secara fisik terisolasi dari pada spesies diserbuki oleh serangga (Bruna, 1999) dalam Hamilton, A dan Patrick Hamilton (2006).  
Faktor lain yang disebutkan oleh Hamilton, A dan Patrick Hamilton (2006) yang berpengaruh terhadap kelestarian tumbuhan adalah faktor manusia (baik yang berpengaruh langsung ataupun tidak langsung). Dalam konteks konservasi, kondisi dan kebutuhan dasar manusia dalam pemenuhan kehidupannya yang menyebabkan lebih cepat hilangnya keanekaragaman hayati. Laju kerusakan yang timbul sejalan dengan jumlah dan pertumbuhan penduduk yang menciptakan tekanan untuk menghancurkan habitat alam memperluas dan mengintensifkan pertanian, dan pengumpulan sumber daya untuk didomestifikasi. Kegiatan manusia yang secara tidak langsung mengakibatkan terjadinya perubahan iklim, polusi, masuknya spesies-spesies invasif ataupun gen invasif yang mempengaruhi keanekaragaman spesies lokal.  Pembukaan lahan disekitar Taman Nasional Bukit Tigapuluh yang merupakan habitat Salo baik secara langsung ataupun tidak langsung juga turut mempengaruhi kelestarian Salo.