Selasa, 11 Maret 2014

Tanah Gambut

Gambut merupakan ordo Histosol, yaitu tanah yang didominasi bahan organik dengan ketebalan lebih dari 40 cm (Soil Survey Staff 1999 dan 2010). Istilah gambut berasal dari bahasa Banjar dan nama desa di selatan kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan, untuk menunjukkan kawasan yang didominansi oleh rawa yang terbentuk dari bahan organik tumbuhan. Di Kalimantan Barat, orang Melayu menyebutnya sepok untuk menunjukkan semacam konotasi negatif tentang gambut. Sepok berarti tua, atau ketinggalan zaman, berarti tanah gambut bermakna tanah yang tidak subur. Indonesia memiliki gambut tropis terluas di dunia, dengan prakiraan luas  21 juta hektar (Agus & Subiksa 2008). Sebagian besar lahan dan hutan gambut tersebut terdapat di Pulau Kalimantan, Sumatera dan Papua.
Sifat-sifat fisik gambut yang penting adalah tanah gambut tersusun atas bahan organik lebih dari 65% dan memiliki kemampuan yang tinggi dalam menyimpan air (Andriesse 1988). Bobot isi gambut nilainya sangat rendah apabila dibandingkan dengan bobot isi tanah mineral. Kisaran bobot isi gambut antara 0.04–0.3 g/cm3 (Anshari et al. 2009). Jika mengalami kekeringan kadar air <100%, gambut kehilangan kemampuan menyerap air (irreversible drying) dan menjadi bahan organik kering yang tidak cocok untuk digunakan sebagai media bercocok tanam dan kehilangan fungsinya sebagai tanah (Agus &Subiksa 2008).
Gambut umumnya bereaksi masam dengan nilai pH antara 3 sampai 4.5. Jika pH tanah sudah mencapai 5, lahan gambut cukup baik untuk pertanian (Agus & Subiksa 2008). Kejenuhan basah sangat rendah (< 10%) dan memiliki Kapasitas Tukar Kation (KTK) yang tinggi atau sangat kuat mengikat kation dalam koloid tanah. Gambut tropis berasal dari proses pelapukan bahan organik tumbuhan berkayu yang memiliki kandungan karbon yang tinggi antara 50-60% (Anshari 2008 & Page et al, 2004). Karbon dalam gambut sebagian besar terdiri atas karbon organik. Umumnya gambut termasuk lahan marjinal untuk pertanian karena kekurangan unsur-unsur makro dan mikro.
Daftar Pustaka
Andriesse, J.P. 1988. Nature and Management of Tropical Peat Soils. Food and Agriculture Organization of The United Nation, Rome.
Anshari, G. 2008. Carbon contents in freshwater peatland forest of Danau Sentarum National Park. A paper presented at International Symposium on Tropical Peatland held at Hilton Kuching, Sarawak from 19 – 21 August 2008. The symposium was organized by University Malaysia Sarawak (Unimas) and Malaysian Agricultural Research & Development Institute (MARDI) in collaboration with CARBOPEAT and in partnership with International Peat Society (IPS).
Anshari, G., Lubis, M., Afifudin. 2009. Informasi kedalaman gambut, degradasi lahan, dan rosot karbon untuk Pengelolaan Gambut Lestari. Laporan Penelitian. DP2M Dikti. Jakarta.
Agus & Subiksa, 2008. Konsorsium penelitian dan pengembangan perubahan iklim pada sektor pertanian. Balai Pesar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. Bogor.
Page, S.E., Weiss. D., Rieley, J.O., Shotyk, W., Limin, S.H. 2004. A record of Late Pleistocene and Holocene Carbon accumulation and climate change from an equatorial peat bog (Kalimantan, Indonesia): Implications for past, present and future carbon dynamics. J. Quaternary Sci. 19(7): 625-636.
Soil Survey Staff, 1999. Kunci Taksonomi Tanah, Edisi Kedua Bahasa Indonesia, Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Soil Survey Staff, 2010, Key to Soil Taxonomy, United States Departement of Agriculture (USDA), National Resources Conservation Services.

0 komentar:

Posting Komentar